ilustrasi
TRIBUNJAMBI.COM, MANILA - Presiden Filipina, Benigno Aquino, berniat melawan kekuasaan Gereja Katolik negeri itu demi memberikan akses terbuka bagi rakyat Filipina mengikuti program keluarga berencana.
Filipina adalah negara Asia dengan pertumbuhan populasi tertinggi dengan tingkat kemiskinan yang sangat tinggi. Menurut data tahun 2010, penduduk negeri itu tercatat lebih dari 92,3 juta jiwa.
Para pakar ekonomi Filipina mengatakan tingginya jumlah penduduk adalah salah satu faktor tingginya angka kemiskinan negeri itu. Namun, Gereja Katolik tidak setuju dengan pendapat tersebut. Gereja mengatakan rakyat membutuhkan pekerjaan bukan kontrasepsi.
Presiden Aquino mendukung rancangan undang-undang kesehatan reproduksi. Jika RUU ini disetujui senat dan kongres Filipina maka rakyat miskin Filipina akan mendapatkan layanan keluarga berencana gratis dan diberlakukannya pendidikan seks di sekolah.
Namun, Gereja Katolik tidak menyukai rencana ini dan mengatakan pengaturan kelahiran menggunakan kontrasepsi adalah perbuatan amoral. Dan undang-undang ini akan memicu munculnya legalisasi aborsi.
Gereja Katolik mengatakan masyarakat harus merencanakan jumlah anggota keluarganya secara natural. Kemiskinan, menurut Gereja Katolik, adalah akibat kegagalan pemerintah memberantas korupsi dan menyediakan lapangan kerja.
"Kami yakin bahwa kontrasepsi bukanlah jawaban," kata Sekretaris Eksekutif Konferensi Waligereja Filipina, Pastur Melvin Castro.
"Rakyat miskin bukan karena buruknya akses ke kontrasepsi. Mereka miskin karena tidak memiliki pekerjaan. Beri mereka pekerjaan dan itu akan menjadi perencanaan keluarga alami untuk mereka," lanjut Castro.
Resistensi Gereja Katolik ini kemudian menular ke sejumlah pejabat Filipina. Pada tahun 2000 Wali Kota Manila Jose Atienza, seorang penganut Katolik yang taat, melarang penjualan alat kontrasepsi di seluruh klinik di Manila. Akibatnya, rakyat kebanyakan sulit mendapatkan akses alat-alat kontrasepsi.
Pertumbuhan penduduk di Filipina tercatat 1,9 persen tiap tahun. Indonesia 1,2 persen dan China hanya 0,6 persen tiap tahunnya.
sumber: tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar