Henry A. Giroux seorang
pakar pendidikan kritis pernah mempersoalkan bahaya neoliberalisme di
dalam masyarakat moderen dewasa ini. Neoliberalisme menurutnya merupakan
suatu ideologi yang sangat berbahaya, sebab pada dasarnya,
neoliberalisme menghancurkan segala hal yang merupakan milik publik,
merusak nilai-nilai demokratis karena tunduk kepada fundamentalisme
pasar. Nilai-nilai sosial yang luhur telah direduksi sebagai nilai-nilai
yang tunduk kepada pertimbangan-pertimbangan komersial dan privatisasi.
Apabila
pandangan neoliberalisme menyusup ke dalam dunia pendidikan kita, maka
yang pasti akan terjadi orang-orang akan mengasumsikan dunia pendidikan
“sama” dengan dunia industri. Pendidikan dilihat sebagai komoditi dan
tunduk kepada hukum pasar (supply and demand). Akibatnya bermunculan
sekolah-sekolah yang menjadi ladang bisnis, masing-masing saling
bersaing untuk mendapatkan siswa yang bisa membiayai besar kelangsungan
proses belajar mengajar di sekolah.
Tak
usah jauh-jauh membincangkannya sampai di sekolah, lihat saja
pendidikan yang diselenggarakan di jenjang pendidikan anak usia dini
(PAUD) atau taman kanak-kanak (TK). Biaya sekolah PAUD/ TK bahkan hampir
sama dengan kuliah di PT. Lihat, berapa banyak PAUD/ TK yang
bermunculan dengan biaya tinggi. Artinya, semakin tinggi biaya
pendidikannya, PAUD/ TK tersebut dianggap semakin bergengsi. Apalagi,
orang tua yang berduit, merasa naik gengsinya karena anaknya sekolah di
sekolah mahal.
Belum
lagi membincangkan tentang monopoli buku pelajaran sekolah (dengan
adanya kerjasama dengan penerbit buku pelajaran dan pihak sekolah), yang
mengharuskan siswa-siswa di sekolah untuk membeli buku-buku pelajaran,
LKS baru, meskipun koleksi di perpustakaan sudah ada dengan isi dan
muatan yang cenderung sama. Munculnya monopoli buku pelajaran ini, tentu
saja karena semangat sekolah mencetak anak didik yang mumpuni. Hanya
seringkali ambisi sekolah mengorbankan orang tua wali murid: terutama
akan menyusahkan orang tua murid dari kalangan keluarga miskin.
Sekolah
seringkali dianggap tidak punya tanggung jawab karena buku-buku
pelajaran yang sudah dipakai tahun lalu tidak bisa dipakai lagi untuk
tahun depan karena sudah berganti penerbit. Bahkan, ini sengaja
dilakukan agar orang tua siswa membeli buku-buku pelajaran, termasuk
“memaksa” membeli di sekolah. Pihak penerbit senang-senang saja, yang
penting bukunya laku keras. Bahkan, mereka sangat agresif menembus
sekolah-sekolah dengan “iming-iming” tertentu. Sementara itu, pemerintah
juga seolah membiarkan hal demikian terjadi. Alasannya, “era otonomi”.
Sehingga, sekolah dibiarkan mempunyai kebijakannya tersendiri, termasuk
pengadaan buku sekolah yang berganti setiap tahun.
Neoliberalisme
pendidikan tidak hanya berdampak pada mahalnya biaya bersekolah dan
monopoli buku pelajaran itu, tapi juga tujuan pendidikan. Dalam nalar
neoliberal, siswa yang masuk dalam sekolah dididik dengan
doktrin-doktrin modernisme-neoliberal, mereka diarahkan pandangan
hidupnya pada pencapaian kesuksesan hidup ala kaum neolib, diarahkan
pembangunan sosial-budaya ala borjuis-kapitalis, dan ikut dalam
pandangan dan gaya hidup kaum borjuis-kapitalis. Para siswa diberikan
kompetensi yang sekiranya dibutuhkan oleh dunia industri, dalam hal ini
pendidikan tunduk pada kemauan pasar, pendidikan hanya ditujukan sebagai
lembaga pensuplai tenaga kerja untuk dunia industri. Pendidikan dengan
demikian tidak lagi sebagaimana ideal konsep pendidikan sebagai lembaga
pencerahan dan pembangun peradaban, menciptakan peradaban manusia, tapi
sekadar mengikuti jalan peradaban yang dibangun oleh para kaum
kapitalis-borjuis di atas puing-puing humanisme, bersenjatakan
legitimasi ilmu pengetahuan yang mereka kendalikan.
Pendidikan
moral dikesampingkan. Yang penting anak cerdas (secara kognitif) di
banyak mata pelajaran, soal baik atau tidaknya perilaku anak didik itu
(cerdas secara afektif) tidak dipersoalkan. Karena tujuan pendidikan
semata-mata untuk memenuhi kecerdasan kognitif – dengan berbagai cara
dilakukan – dari mulai bagaimana menyusun muatan kurikulum yang lengkap,
pelajaran tambahan, pekerjaan rumah yang menumpuk, dan tuntutan
lainnya. Ini juga tidak semata-mata salah sekolah. Pendidikan jenjang
yang lebih tinggi seringkali menuntut anak didik bisa ini dan itu.
Mengapa sekolah setingkat SD harus memposisikan anak didik seperti
mesin, karena sekolah tingkat SMP dan selanjutnya SMA menghendaki
seperti itu.
Akibat
dari berkembangnya nalar neoliberalisme ini menyebabkan sekolah-sekolah
– sebagaimana pendapat HAR Tilaar dalam bukunya Multikulturalisme:
Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan
Nasional (2004), mementingkan apa yang berguna berdasarkan paham
pragmatisme – artinya menyediakan pelajaran-pelajaran yang berguna untuk
kehidupan yang sekarang. Dengan demikian sekolah bukanlah mengasah
kemampuan intelektual untuk hidup secara cerdas tetapi yang dapat
memberikan keuntungan yang lebih banyak bagi yang menguasainya. Karena
paham ini, academic excellence bukan lagi merupakan tujuan dalam
pendidikan, siswa cerdas yang bermoral juga tak lagi penting, sekolah
bukan lagi untuk mengasah akal budi dan seni, karena yang terpenting
menurut paham ini adalah bagaimana siswa mendapatkan keterampilan atau
penguasaan-penguasaan ilmu-ilmu praktis yang segera dapat memberikan
manfaat pada yang memilikinya.
Ambisi
orang tua juga terlalu besar. Orang tua sering tidak melihat kemampuan
anak. Inginnya diterima di sekolah favorit untuk menaikkan gengsi.
Padahal anak didik tak punya kemampuan seperti itu. Akibatnya, “uang”
solusinya. Dampaknya, anak tersebut susah mengikuti pelajaran seperti
anak-anak lainnya. Kasus “anak titipan” terjadi karena orang tua
menganggap bahwa sekolah itu “bisa dibeli”. Tak lain, karena
neoliberalisme pendidikan sudah sedemikian membelit pendidikan kita,
bukan hanya masalah buku pelajaran saja, tetapi kasus “anak titipan”.
Neoliberalisme
pendidikan tentu saja ancaman dan harus diakhiri. Sekolah-sekolah yang
jadi “ladang bisnis” dan melupakan fithrahnya sebagai tempat
“pendidikan” bagi para siswa, tentu bukan suatu hal yang positif. Karena
sebagaimana kita mafhumi, sekolah bukan sekadar tempat berlangsungnya
aktivitas belajar mengajar, tapi juga tempat berlangsungnya pendidikan.
Kita semua punya tanggung jawab yang sama untuk mengakhiri cengkeraman
neoliberalisme pendidikan ini, supaya ke depan kualitas pendidikan kita
lebih baik lagi (tidak hanya dalam artian “baik” dalam
mentransformasikan pengetahuan pada anak didik tapi juga bisa
mentransformasikan nilai-nilai moral dan perilaku yang baik).
Bagaimana Peran Strategis Ikatan Pelajar Muhammadiyah?
Peran
dasar sekolah adalah sebagai basis pencetak kaum terdidik dengan
setrata tinggi di dalam masyarakat. Maka organisasi kepelajaran di
Indonesia termasuk IPM, mempunyai peran strategis dalam rangka
mengorganisasikan kaum terdidik dalam satu wadah untuk memperkuat
tanggung jawab sosial pelajar terhadap masyarakat atau bangsanya.
Tanggung jawab sosial tersebut hadir seiring dengan penguatan
pembangunan karakter ditubuh organisasi kepelajaran serta pendalaman
akan realitas bangsanya bersamaan dengan tumbuhnya nalar intelektual
pelajar.
Oleh
sebab itu esensi dari sekolah adalah upaya penciptaan ruang-ruang
dialektika gagasan dan penemuan ide pelajar sebagai basis penguatan
masyarakat. Dimana tempat pendidikan menciptakan iklim kondusif dan
terbuka bagi tumbuh kembangnya ide dan gagasan. Disertai dengan
kesimbangan moral dan religious untuk menumbuhkan tanggung jawab ilmiah
kedalam masyarakat dengan dasar ketaqwaan kepada sang pencipta.
Namun
demikian, kondisi lembaga pendidikan dari tingkat dasar hingga atas
saat ini membuat tempat pendidikan tak lebih dari mesin industri
pencetak ijazah. Menciptakan ahli teknologi yang terampil tetapi murah
dan bersedia tunduk terhadap rezim tiran dan kepentingan asing. Sebagai
sebuah produsen bagi tenaga kerja industri dan birokrasi maka kaum
borjuis memiliki kepentingan yang cukup signifikan dalam menentukan
kabijakan tempat pendidikan. Kondisi ini yang menyebabkan tempat
pendidikan, kian masuk pada struktur industri pendidikan yang jauh dari
kepentingan masyarakat. Lebih parah sekolah saat ini kian mahal biayanya
dan tidak menjangkau lapisan masyarakat bawah.
Hal ini ternyata berdampak secara sosiologis terhadap pelajar yang terkategorikan pada empat kelompok:
Pertama
kelompok phragmatis (orientasi stuidi semata), kelompok ini secara
kuantitas jumlahnya sangat besar, mereka berasal dari kaum menengah atas
yang bertujuan bahwa study dan kuliah adalah batu pijakan untuk
kemudiian mencari kerja dan melanjutkan ke jenjang selanjutnya semata.
Kedua kelompok hedonis (mementingkan gaya hidup) kelompok ini memang
jumlahnya tidak sebesar seperti kelompok pertama , namun memiliki
kecenderungan untuk bertambah besar , dilain sisi kelompok kedua ini
sedikit punya titik temu dengan kelompok pertama. Kelompok kedua ini
didominasi oleh pelajar yang berasal dari ekonomi elit yang memang
mereka tidak banyak punya kepentingan tentang masa depannya, karena bagi
sebagia besar mereka orang tua sudah cukup menjamin, disisi lai
kebanyakan dari mereka yang sekolah atau kuliah karena terpaksa.
Sehingga ekspresi bagi pelajar dari kelompok ini adalah dari pencitraan
diri , life style dan hura-hura.
Ketiga
kelompok pelajar frustasi, kelompok ini biasanya berasal dari kombinasi
golongan pelajar dari ekonomi lemah dan pelajar kelas menengah yang
menemukan jati dirinya saat menjadi pelajar. Munculnya kelompok ini
disebabkan oleh kegamangan mencari identitas, dan pukulan ekonomi yang
terus menerus mengancam eksistensi mereka. Misalnya mereka yang baru
mendapatkan identitasnya berupa paham keagamaan baru, ia ekspresikan
dengan mengartikulasikan secara membabi buta, sehingga dalam kondisi ini
mereka tertutup dengan pandangan pemahaman lain. Di samping itu mereka
yang putus asa dengan kondisi ekonomi, memutuskan untuk bergabung pada
aliran-aliran yang jamak mengasingkan dirinya dari pelajar lainnya.
Keempat
kelompok pelajar aktifis-kritis, yang berasal dari golongan ekonomi
menengah atau ekonomi bawah yang tercerahkan. Jumlah mereka sangat
sedikit, kebanyakan dari mereka bergabung dengan organisasi-organisasi
kepelajaran. Bagi mereka sekolah dan kuliah adalah pemaknaan diri, untuk
apa dan untuk siapa keilmuan mereka darmabaktikan. Sehingga bagi mereka
penemuan kesadaran itulah jalan untuk melakukan perubahan.
Dalam
rangka mengupayakan keseimbangan tempat pendidikan sebagai model
penguatan karakter kepelajaran kedalam masayarakat maka diperlukan
sebuah upaya serius dan terintegratif. Dan yang perlu dilakukan IPM saat
ini diantaranya; 1. Menghidupkan kembali mimbar bebas di setiap tempat,
baik tingkat pusat, wilayah maupun daerah; 2. Menggalakkan forum-forum
diskusi tentang berbagai permasalahan dan isu-isu yang berkembang di
masyarakat. Forum diskusi ini bisa melakukan kajian berdasarkan
pandangan disiplin ilmu tertentu, ataupun interdisipliner yang
pesertanya berasal dari daerah, ranting maupun lintas OKP; 3.
Mengintensifkan seminar-seminar tentang gerakan moral pelajar; 4.
Menghidupkan pers pelajar sebagai sarana komunikasi, aktualisasi dan
artikulasi gagasan-gagasan brilian serta ide-ide cerdas pelajar untuk
mencari solusi atas berbagai permasalahan; 5. Optimalisasi
kegiatan-kegiatan pengkaderan IPM yang diarahkan untuk mencetak kader
dan calon pemimpin bangsa yang cerdas, terampil, moralis, religius,
kredibel, peduli terhadap permasalahan yang terjadi di sekitar serta
memiliki integritas diri yang diakui. 6. Memperbanyak
penelitian-penelitian ilmiah yang berkaitan dengan problem-problem nyata
di masyarakat pelajar.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar