Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kota Jambi

"WELCOME TO MY BLOG PD IPM KOTA JAMBI"

Sabtu, 18 Mei 2013






Pengurus PD IPM Kota Jambi periode 2011 - 2013
Kanan Atas : Musdalifah, Siti Hamidah, Widya, Junaidi, Aninda, Tri Utami

Kanan Bawah : Sri rika Saputri, Juliana, Sarkawi, Ahmad Syafiq, Bayu RP, Misbahul Khairi, Ihsan Rafiqi.


Sabtu, 11 Mei 2013

Keistemewaan sholat berjamaah

 berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Abu Hurairah
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلْ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ
 
“Shalat seorang laki-laki dengan berjama’ah dibanding shalatnya di rumah atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu karena bila dia berwudlu dengan menyempurnakan wudlunya lalu keluar dari rumahnya menuju masjid, dia tidak keluar kecuali untuk melaksanakan shalat berjama’ah, maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya kecuali akan ditinggikan satu derajat, dan akan dihapuskan satu kesalahannya. Apabila dia melaksanakan shalat, maka Malaikat akan turun untuk mendo’akannya selama dia masih berada di tempat shalatnya, ‘Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia’. Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti pelaksanaan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 131 dan Muslim no. 649)
 dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:tDari Abu Musa

إِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ إِلَيْهَا مَمْشًى فَأَبْعَدُهُمْ وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّيهَا ثُمَّ يَنَامُ
“Manusia paling besar pahalanya dalam shalat adalah yang paling jauh perjalannya, lalu yang selanjutnya. Dan seseorang yang menunggu shalat hingga melakukannya bersama imam, lebih besar pahalanya daripada yang melakukannya (sendirian) kemudian tidur.” (HR. Muslim no. 662)
 dia berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:tDari Abu Ad-Darda`

مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
“Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah kalian (shalat) berjamaah, karena sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya).” (HR. Abu Daud no. 547, An-Nasai no. 838, dan sanadnya dinyatakan hasan oleh An-Nawawi dalam Riyadh Ash-Shalihin no. 344)
Dari Ibnu Umar -radhiallahu anhuma-, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian.” (HR. Al-Bukhari no. 131 dan Muslim no. 650)
Penjelasan ringkas:
Karena besarnya urgensi shalat berjamaah bagi keumuman lingkungan kaum muslimin dan bagi setiap individu yang ada di dalamnya, Allah Ta’ala menjanjikan untuknya pahala yang besar dan Ar-Rasul -alaihishshalatu wassalam- senantiasa memotifasi untuk mengerjakannya. Dan beliau -alaihishshalatu wassalam- mengabarkan bahwa shalatnya seseorang secara berjamaah jauh lebih utama daripada shalat sendirian dan bahwa shalat berjamaah merupakan sebab terjaganya kaum muslimin dari setan. Keutamaan yang pertama untuk individu dan yang kedua untuk masyarakat kaum muslimin.

(Materi Kepemanduan "Al Ikhlas")

Sabtu, 20 April 2013

Masih Perlukah Ujian Nasional?



KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP Siswa mengikuti ujian nasional SMA/SMK sederajat di SMA Negeri 1 Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (18/4/2013). Ujian hari pertama yang diikuti 119.958 siswa se-Sulsel itu masih diwarnai sejumlah persoalan, seperti sekolah kekurangan naskah soal dan adanya pertanyaan ganda dalam mata pelajaran kejuruan bagi siswa SMK.


Oleh Elin Driana
Kacau! Satu kata ini tampaknya tepat untuk menggambarkan pelaksanaan ujian nasional tingkat SMA/SMK tahun ini.

Pelaksanaan UN di 11 provinsi tertunda karena keterlambatan naskah soal, sementara keluhan bermunculan di sekolah-sekolah yang telah melaksanakan UN sejak Senin, 15/4/2013. Mulai dari rendahnya kualitas lembar jawaban UN, tertukarnya paket-paket soal, kurangnya naskah soal dan lembar jawaban UN, hingga indikasi kecurangan yang mulai dilaporkan ke posko pengaduan UN atapun yang diungkapkan melalui media sosial.

Cukupkah berbagai permasalahan UN dipandang sebagai masalah teknis belaka? Andai masalah-masalah teknis ataupun indikasi kecurangan itu teratasi, misalnya dengan memperbanyak paket soal dan memperketat pengawasan, apakah UN layak dibiarkan tetap berlangsung sebagai rutinitas tahunan berbiaya besar tanpa manfaat signifikan bagi peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air?

Asumsi UN
Terlebih lagi, dalam beberapa tahun terakhir, mengapa UN menimbulkan kecemasan yang luar biasa di kalangan siswa, orangtua, dan guru? Mengapa pembelajaran menjadi tidak mengasyikkan lagi bagi siswa sehingga harus dipaksa dengan sebuah tes bernama UN?

Persoalan UN tidak bisa semata-mata ditarik ke ranah teknis. Asumsi yang melandasi kebijakan UN harus diuji keabsahannya. Ujian kelulusan didasarkan asumsi: dengan menetapkan standar akademis yang harus dicapai siswa dan diukur melalui tes standar, disertai konsekuensi atas keberhasilan ataupun kegagalan mencapai standar tersebut, akan meningkatkan motivasi siswa, guru, dan sekolah dalam meningkatkan prestasi mereka.

Laporan tahunan terbaru (2012) dari Center on Education Policy—sebuah lembaga nirlaba yang didirikan di George Washington University, yang meneliti ujian kelulusan di sejumlah negara bagian di Amerika Serikat sejak tahun 2002—menyimpulkan bahwa hingga saat ini keterkaitan antara ujian kelulusan dan peningkatan prestasi belajar siswa masih belum terbukti. Laporan tersebut juga merujuk pada beberapa penelitian lain, misalnya yang dilakukan Grodsky dkk (2009), Reardon dkk (2009), dan Holme dkk (2010), yang belum menemukan keterkaitan antara pelaksanaan ujian kelulusan dan peningkatan prestasi belajar siswa.

Untuk menilai efektivitas pelaksanaan UN, tentunya kita membutuhkan indikator. Salah satu indikator yang saat ini tersedia dan dapat digunakan adalah hasil-hasil survei internasional dalam TIMSS (untuk matematika), PIRLS (untuk kemampuan membaca), dan PISA (matematika, sanis, dan membaca).

Indonesia secara periodik telah mengikuti asesmen internasional tersebut dengan hasil yang memprihatinkan. Siswa Indonesia berada di peringkat bawah dalam ketiga asesmen tersebut, sebagaimana pernah saya sampaikan dalam opini saya sebelumnya berjudul ”Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012). Bukan hanya peringkat yang mencemaskan, melainkan mayoritas siswa Indonesia ternyata baru mencapai level penalaran yang rendah. Bukankah ini sudah merupakan indikator kegagalan UN dalam meningkatkan prestasi belajar siswa?

Sementara itu, penelitian-penelitian lain juga telah mendokumentasikan dampak negatif ujian kelulusan. Di antaranya: (1) kesenjangan prestasi akademis berdasarkan status sosial ekonomi keluarga; (2) meningkatnya risiko putus sekolah bagi siswa tak mampu dan siswa dari kelompok minoritas; (3) penyempitan kurikulum, yaitu terfokusnya pembelajaran pada mata pelajaran yang diujikan sehingga yang tak diujikan terabaikan; (4) proses belajar yang berupaya menggali aspek kreativitas dan berpusat pada siswa cenderung terpinggirkan karena lebih memfokuskan pada latihan-latihan soal; (5) tekanan berlebihan yang dirasakan siswa; tekanan berlebihan yang dirasakan guru; dan (6) berbagai modus kecurangan.

Dampak-dampak negatif ujian kelulusan yang terdokumentasikan dalam beberapa penelitian di atas sebetulnya telah kita amati di Indonesia. Dampak negatif itu lebih dominan dibandingkan dampak positif yang masih belum terbukti. Meskipun kita masih butuh penelitian-penelitian lebih lanjut untuk membuktikan pengamatan-pengamatan tersebut, akal sehat kita semestinya segera mendorong kita semua untuk segera mempertanyakan apakah UN sebagai salah satu komponen penentu kelulusan dan seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi merupakan pilihan kebijakan yang tepat saat ini?

Tidakkah lebih bermanfaat jika biaya penyelenggaraan UN yang begitu besar, yang tahun ini mencapai Rp 600 miliar, dialihkan untuk pelatihan guru, perpustakaan sekolah, laboratorium sekolah, perbaikan sekolah yang rusak, dan pembenahan sarana dan prasarana pendidikan lainnya? Belum lagi biaya-biaya terkait UN yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan orangtua murid.

Perlu diingat pula, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengabulkan gugatan 58 warga negara atas kebijakan UN (21/5/2007). Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta dengan ditolaknya upaya banding pemerintah (6/12/2007). Putusan itu kembali dikukuhkan Mahkamah Agung dengan ditolaknya kasasi pemerintah (14/9/2009). Sementara itu, tiga kali panggilan PN Jakarta Pusat terkait eksekusi putusan tidak dipenuhi oleh pemerintah.

Upaya-upaya yang dilakukan Tim Advokasi Korban UN, termasuk dengan menemui, antara lain, Komisi X DPR, Komnas HAM, dan Dewan Pertimbangan Presiden belum membuahkan hasil. UN masih tetap berlangsung tanpa ada penilaian dari pengadilan apakah pemerintah telah memenuhi syarat-syarat yang mesti dipenuhi sebelum melaksanakan kebijakan UN lebih lanjut.

Patuhi putusan pengadilan
Putusan pengadilan tersebut mestinya menjadi momentum untuk meninjau UN sebagai penentu kelulusan dan seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini mengingat pelaksanaan UN tidak menjadi lebih baik, efektivitasnya dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan pencapaian siswa masih menimbulkan tanda tanya, sementara dampak-dampak negatifnya terus bermunculan.

Saatnya UN dibicarakan bersama dengan jernih dan terbuka dengan melibatkan sejumlah pemangku kepentingan. Dialog tersebut mestinya tidak hanya melibatkan kepala sekolah ataupun kepala dinas pendidikan dan jajaran Kemdikbud, tetapi juga kelompok masyarakat—termasuk yang selama ini dipandang sebagai penentang kebijakan UN. Dengan begitu, UN dapat dibedah dengan menggunakan sudut pandang yang bertolak belakang sekalipun guna mereposisi UN dan mencegah tereduksinya pendidikan menjadi penyortiran siswa berdasarkan prestasi akademis.

Elin Driana, Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Jakarta; Salah Seorang Koordinator Education Forum dan Anggota Koalisi Damai Reformasi Pendidikan

  
http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/20/10084413/Masih.Perlukah.Ujian.Nasional

Tak Perlu Lanjutkan UN Tahun Depan


ANGGA BHAGYA NUGRAHA Sejumlah siswa kelas XII SMA Taman Siswa, Kemayoran, Jakarta Pusat, tengah belajar bersama untuk menghadapi Ujian Nasional (UN), Selasa (9/4/2013). Menjelang UN yang akan berlangsung Senin mendatang, mereka mengaku memperbanyak belajar tambahan. WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA

JAKARTA, KOMPAS.com Dorongan untuk menghapuskan ujian nasional (UN) pada tahun depan muncul dari berbagai pihak karena dinilai sudah tidak sesuai lagi dan hanya menyebabkan anak-anak Indonesia menjadi tertekan. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Jawa Timur, Istibsyaroh, mengatakan bahwa pelaksanaan UN kali ini merupakan yang paling buruk dan semestinya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkaca untuk tidak lagi menyelenggarakan ujian ini.

"UN ini tidak perlu lagi ada. Banyak keluhan dari banyak pihak termasuk anak-anak," kata Istibsyaroh saat Dialog Kisruh UN di DPD RI, Jakarta, Jumat (19/4/2013).

Hal serupa diungkapkan oleh anggota DPR RI dari Fraksi Golkar, Ace Sadzili. Ia menegaskan bahwa UN bukan merupakan satu-satunya alat untuk mengukur kualitas pendidikan di Indonesia sehingga memang sebaiknya tidak lagi dilaksanakan.

"UN ini kan untuk mengetahui di mana kualitas pendidikan kita. Tapi apakah UN satu-satunya? UN ini bukan satu-satunya menurut saya," kata Ace.

Menurutnya, apabila untuk mengukur kualitas, maka UN tidak perlu dilakukan tiap tahun dan kemudian dijadikan alat penentu kelulusan seorang siswa. Untuk itu, ia menyampaikan bahwa sebaiknya UN perlu diubah dengan pola lain, misalkan saja mengukur kelulusan lewat ujian sekolah.

"Daripada seperti ini, lebih baik sudah tidak ada saja UN karena peserta didik hanya menjadi kelinci percobaan saja dari kebijakan yang tidak mempertimbangkan manajemen," tandasnya.

http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/20/09362829/Tak.Perlu.Lanjutkan.UN.Tahun.Depan

UN Malah Membentuk Anak Jadi Manipulatif?



KOMPAS.com / ABDUL HAQ Aksi main curang yang dilakukan peserta Ujian Nasional di salah satu sekolah di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Kamis, (18/04/2013).
JAKARTA, KOMPAS.com - Ujian Nasional (UN) yang digelar dengan tujuan untuk mempertahankan semangat belajar dan menanamkan nilai kejujuran ternyata justru jauh menyimpang dari tujuan tersebut. Dengan aturan ketat tanpa pengawasan yang tepat, UN malah membuat anak-anak cemas sehingga mencari-cari celah agar bisa lulus.

Praktisi Pendidikan dari Universitas Paramadina, Abduh Zein, mengatakan bahwa kebijakan UN yang diambil pemerintah ini justru membuat anak-anak belajar untuk menjadi pribadi yang manipulatif dan destruktif karena dihantui ketakutan tidak lulus ujian.

"Kebijakan UN ini tidak tepat karena destruktif dan menanamkan untuk manipulasi," kata Abduh saat diskusi Kisruh UN di DPD RI, Jakarta, Jumat (19/4/2013).

Tidak hanya sekadar itu, UN yang awalnya didesain untuk meningkatkan semangat belajar justru malah memunculkan semangat yang berkebalikan karena anak-anak menjadi berlomba untuk mencari bocoran jawaban agar UN yang dikerjakannya berjalan lancar.

"Sekarang dapat dilihat apakah semangat belajar meningkat karena UN? Tidak, karena yang ada justru sebaliknya anak-anak mencari jalan pintas untuk lulus UN," ungkap Abduh.

"Akhirnya anak yang pintar jadi hilang semangat belajar karena tahu ada jalan pintas itu," tandasnya.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti. Ia menjelaskan bahwa adanya UN ini hanya membuat anak sibuk untuk mencari kunci jawaban bukan malah mempersiapkan belajar dengan baik.

"Tentu saja, UN ini hanya membuat anak belajar untuk curang bukan malah belajar dengan benar," ungkapnya.


http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/20/1628367/UN.Malah.Membentuk.Anak.Jadi.Manipulatif

Rabu, 17 April 2013

UN Tak Cocok Jadi Alat Evaluasi Kurikulum 2013


UN Tak Cocok Jadi Alat Evaluasi Kurikulum 2013 Kompas Images/Iwan Setiyawan Ilustrasi pelajar yang sedang mengikuti Ujian Nasional.


JAKARTA, KOMPAS.com — Meski muncul banyak kritikan terhadap kurikulum baru yang akan diterapkan pada pertengahan tahun 2013 mendatang, pendekatan berbasis tematik integratif yang ditawarkan tetap diapresiasi. Namun, dengan pola pendekatan pendidikan semacam ini, bentuk evaluasi kepada siswa semestinya juga tidak lagi ketat.

Praktisi pendidikan dari Universitas Paramadina, Abduh Zein, mengatakan bahwa metode tematik integratif ini membuka peluang guru dan siswa untuk mengeksplorasi lebih dalam tentang tema bahasannya. Anak-anak juga bebas mengobservasi dan mencari tahu sendiri jawaban dari permasalahan yang dihadapi.

"Metode seperti ini tanpa batasan dan dinamis sehingga akan jadi persoalan jika ujian nasional (UN) masih dijadikan alat evaluasi," kata Zein saat Focus Group Discussion Menyoal Kurikulum 2013 di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (14/12/2012).

Ia mengungkapkan bahwa jika tetap dipaksakan mengevaluasi siswa dengan sistem UN, konsep kurikulum yang digagas saat ini hanya akan sia-sia. Pasalnya, guru tak akan bisa dengan bebas mengembangkan tema bahasan karena ada koridor yang harus diikuti agar anak-anak bisa mengerjakan UN dengan baik.

"UN itu sangat rigid. Kisi-kisinya ada dan umumnya yang keluar soalnya seperti itu sehingga guru mau tidak mau ikuti saja. Kalau begini, apa yang berubah," ujar Zein.

Untuk itu, sejalan dengan perubahan kurikulum, UN mestinya bukan lagi menjadi pilihan pemerintah untuk melakukan evaluasi pendidikan bagi para siswa di tiap jenjang. Pemerintah harus mulai mempersiapkan formulasi baru untuk alat evaluasi siswa menyesuaikan dengan metode pembelajaran pada kurikulum baru.

Ikata Pelajar Muhammadiyah : sejumlah Pelajar yang tergabung dalam Ikatan Pelajar muhammadiyah melakukan aksi damai untuk menolak secara tegas pelaksanaan Ujian Nasional yang di gelar oleh Kemendiknas. Ujian Nasional dinilai sangat merugikan Pelajar Indonesia, karena selama menempuh sekolah 3 tahun lamanya kelulusan hanya di tentukan dengan waktu dan mata pelajaran yang sangat singkat. padahal dalam Sekolah Mata Pelajaran yang ada cukup banyak. selain itu Ujian Nasional dinilai membodohkan anak Bangsa bukan malahan mencerdaskan.walaupun sekarang Kemendiknas memberlakukan jumlah nilai kelulusan 40% dan 60%, akan tetapi tetap saja para pelajar masih mengandalkan bantuan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.