Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kota Jambi

"WELCOME TO MY BLOG PD IPM KOTA JAMBI"

Sabtu, 20 April 2013

Masih Perlukah Ujian Nasional?



KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP Siswa mengikuti ujian nasional SMA/SMK sederajat di SMA Negeri 1 Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (18/4/2013). Ujian hari pertama yang diikuti 119.958 siswa se-Sulsel itu masih diwarnai sejumlah persoalan, seperti sekolah kekurangan naskah soal dan adanya pertanyaan ganda dalam mata pelajaran kejuruan bagi siswa SMK.


Oleh Elin Driana
Kacau! Satu kata ini tampaknya tepat untuk menggambarkan pelaksanaan ujian nasional tingkat SMA/SMK tahun ini.

Pelaksanaan UN di 11 provinsi tertunda karena keterlambatan naskah soal, sementara keluhan bermunculan di sekolah-sekolah yang telah melaksanakan UN sejak Senin, 15/4/2013. Mulai dari rendahnya kualitas lembar jawaban UN, tertukarnya paket-paket soal, kurangnya naskah soal dan lembar jawaban UN, hingga indikasi kecurangan yang mulai dilaporkan ke posko pengaduan UN atapun yang diungkapkan melalui media sosial.

Cukupkah berbagai permasalahan UN dipandang sebagai masalah teknis belaka? Andai masalah-masalah teknis ataupun indikasi kecurangan itu teratasi, misalnya dengan memperbanyak paket soal dan memperketat pengawasan, apakah UN layak dibiarkan tetap berlangsung sebagai rutinitas tahunan berbiaya besar tanpa manfaat signifikan bagi peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air?

Asumsi UN
Terlebih lagi, dalam beberapa tahun terakhir, mengapa UN menimbulkan kecemasan yang luar biasa di kalangan siswa, orangtua, dan guru? Mengapa pembelajaran menjadi tidak mengasyikkan lagi bagi siswa sehingga harus dipaksa dengan sebuah tes bernama UN?

Persoalan UN tidak bisa semata-mata ditarik ke ranah teknis. Asumsi yang melandasi kebijakan UN harus diuji keabsahannya. Ujian kelulusan didasarkan asumsi: dengan menetapkan standar akademis yang harus dicapai siswa dan diukur melalui tes standar, disertai konsekuensi atas keberhasilan ataupun kegagalan mencapai standar tersebut, akan meningkatkan motivasi siswa, guru, dan sekolah dalam meningkatkan prestasi mereka.

Laporan tahunan terbaru (2012) dari Center on Education Policy—sebuah lembaga nirlaba yang didirikan di George Washington University, yang meneliti ujian kelulusan di sejumlah negara bagian di Amerika Serikat sejak tahun 2002—menyimpulkan bahwa hingga saat ini keterkaitan antara ujian kelulusan dan peningkatan prestasi belajar siswa masih belum terbukti. Laporan tersebut juga merujuk pada beberapa penelitian lain, misalnya yang dilakukan Grodsky dkk (2009), Reardon dkk (2009), dan Holme dkk (2010), yang belum menemukan keterkaitan antara pelaksanaan ujian kelulusan dan peningkatan prestasi belajar siswa.

Untuk menilai efektivitas pelaksanaan UN, tentunya kita membutuhkan indikator. Salah satu indikator yang saat ini tersedia dan dapat digunakan adalah hasil-hasil survei internasional dalam TIMSS (untuk matematika), PIRLS (untuk kemampuan membaca), dan PISA (matematika, sanis, dan membaca).

Indonesia secara periodik telah mengikuti asesmen internasional tersebut dengan hasil yang memprihatinkan. Siswa Indonesia berada di peringkat bawah dalam ketiga asesmen tersebut, sebagaimana pernah saya sampaikan dalam opini saya sebelumnya berjudul ”Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012). Bukan hanya peringkat yang mencemaskan, melainkan mayoritas siswa Indonesia ternyata baru mencapai level penalaran yang rendah. Bukankah ini sudah merupakan indikator kegagalan UN dalam meningkatkan prestasi belajar siswa?

Sementara itu, penelitian-penelitian lain juga telah mendokumentasikan dampak negatif ujian kelulusan. Di antaranya: (1) kesenjangan prestasi akademis berdasarkan status sosial ekonomi keluarga; (2) meningkatnya risiko putus sekolah bagi siswa tak mampu dan siswa dari kelompok minoritas; (3) penyempitan kurikulum, yaitu terfokusnya pembelajaran pada mata pelajaran yang diujikan sehingga yang tak diujikan terabaikan; (4) proses belajar yang berupaya menggali aspek kreativitas dan berpusat pada siswa cenderung terpinggirkan karena lebih memfokuskan pada latihan-latihan soal; (5) tekanan berlebihan yang dirasakan siswa; tekanan berlebihan yang dirasakan guru; dan (6) berbagai modus kecurangan.

Dampak-dampak negatif ujian kelulusan yang terdokumentasikan dalam beberapa penelitian di atas sebetulnya telah kita amati di Indonesia. Dampak negatif itu lebih dominan dibandingkan dampak positif yang masih belum terbukti. Meskipun kita masih butuh penelitian-penelitian lebih lanjut untuk membuktikan pengamatan-pengamatan tersebut, akal sehat kita semestinya segera mendorong kita semua untuk segera mempertanyakan apakah UN sebagai salah satu komponen penentu kelulusan dan seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi merupakan pilihan kebijakan yang tepat saat ini?

Tidakkah lebih bermanfaat jika biaya penyelenggaraan UN yang begitu besar, yang tahun ini mencapai Rp 600 miliar, dialihkan untuk pelatihan guru, perpustakaan sekolah, laboratorium sekolah, perbaikan sekolah yang rusak, dan pembenahan sarana dan prasarana pendidikan lainnya? Belum lagi biaya-biaya terkait UN yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan orangtua murid.

Perlu diingat pula, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengabulkan gugatan 58 warga negara atas kebijakan UN (21/5/2007). Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta dengan ditolaknya upaya banding pemerintah (6/12/2007). Putusan itu kembali dikukuhkan Mahkamah Agung dengan ditolaknya kasasi pemerintah (14/9/2009). Sementara itu, tiga kali panggilan PN Jakarta Pusat terkait eksekusi putusan tidak dipenuhi oleh pemerintah.

Upaya-upaya yang dilakukan Tim Advokasi Korban UN, termasuk dengan menemui, antara lain, Komisi X DPR, Komnas HAM, dan Dewan Pertimbangan Presiden belum membuahkan hasil. UN masih tetap berlangsung tanpa ada penilaian dari pengadilan apakah pemerintah telah memenuhi syarat-syarat yang mesti dipenuhi sebelum melaksanakan kebijakan UN lebih lanjut.

Patuhi putusan pengadilan
Putusan pengadilan tersebut mestinya menjadi momentum untuk meninjau UN sebagai penentu kelulusan dan seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini mengingat pelaksanaan UN tidak menjadi lebih baik, efektivitasnya dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan pencapaian siswa masih menimbulkan tanda tanya, sementara dampak-dampak negatifnya terus bermunculan.

Saatnya UN dibicarakan bersama dengan jernih dan terbuka dengan melibatkan sejumlah pemangku kepentingan. Dialog tersebut mestinya tidak hanya melibatkan kepala sekolah ataupun kepala dinas pendidikan dan jajaran Kemdikbud, tetapi juga kelompok masyarakat—termasuk yang selama ini dipandang sebagai penentang kebijakan UN. Dengan begitu, UN dapat dibedah dengan menggunakan sudut pandang yang bertolak belakang sekalipun guna mereposisi UN dan mencegah tereduksinya pendidikan menjadi penyortiran siswa berdasarkan prestasi akademis.

Elin Driana, Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Jakarta; Salah Seorang Koordinator Education Forum dan Anggota Koalisi Damai Reformasi Pendidikan

  
http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/20/10084413/Masih.Perlukah.Ujian.Nasional

Tak Perlu Lanjutkan UN Tahun Depan


ANGGA BHAGYA NUGRAHA Sejumlah siswa kelas XII SMA Taman Siswa, Kemayoran, Jakarta Pusat, tengah belajar bersama untuk menghadapi Ujian Nasional (UN), Selasa (9/4/2013). Menjelang UN yang akan berlangsung Senin mendatang, mereka mengaku memperbanyak belajar tambahan. WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA

JAKARTA, KOMPAS.com Dorongan untuk menghapuskan ujian nasional (UN) pada tahun depan muncul dari berbagai pihak karena dinilai sudah tidak sesuai lagi dan hanya menyebabkan anak-anak Indonesia menjadi tertekan. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Jawa Timur, Istibsyaroh, mengatakan bahwa pelaksanaan UN kali ini merupakan yang paling buruk dan semestinya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkaca untuk tidak lagi menyelenggarakan ujian ini.

"UN ini tidak perlu lagi ada. Banyak keluhan dari banyak pihak termasuk anak-anak," kata Istibsyaroh saat Dialog Kisruh UN di DPD RI, Jakarta, Jumat (19/4/2013).

Hal serupa diungkapkan oleh anggota DPR RI dari Fraksi Golkar, Ace Sadzili. Ia menegaskan bahwa UN bukan merupakan satu-satunya alat untuk mengukur kualitas pendidikan di Indonesia sehingga memang sebaiknya tidak lagi dilaksanakan.

"UN ini kan untuk mengetahui di mana kualitas pendidikan kita. Tapi apakah UN satu-satunya? UN ini bukan satu-satunya menurut saya," kata Ace.

Menurutnya, apabila untuk mengukur kualitas, maka UN tidak perlu dilakukan tiap tahun dan kemudian dijadikan alat penentu kelulusan seorang siswa. Untuk itu, ia menyampaikan bahwa sebaiknya UN perlu diubah dengan pola lain, misalkan saja mengukur kelulusan lewat ujian sekolah.

"Daripada seperti ini, lebih baik sudah tidak ada saja UN karena peserta didik hanya menjadi kelinci percobaan saja dari kebijakan yang tidak mempertimbangkan manajemen," tandasnya.

http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/20/09362829/Tak.Perlu.Lanjutkan.UN.Tahun.Depan

UN Malah Membentuk Anak Jadi Manipulatif?



KOMPAS.com / ABDUL HAQ Aksi main curang yang dilakukan peserta Ujian Nasional di salah satu sekolah di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Kamis, (18/04/2013).
JAKARTA, KOMPAS.com - Ujian Nasional (UN) yang digelar dengan tujuan untuk mempertahankan semangat belajar dan menanamkan nilai kejujuran ternyata justru jauh menyimpang dari tujuan tersebut. Dengan aturan ketat tanpa pengawasan yang tepat, UN malah membuat anak-anak cemas sehingga mencari-cari celah agar bisa lulus.

Praktisi Pendidikan dari Universitas Paramadina, Abduh Zein, mengatakan bahwa kebijakan UN yang diambil pemerintah ini justru membuat anak-anak belajar untuk menjadi pribadi yang manipulatif dan destruktif karena dihantui ketakutan tidak lulus ujian.

"Kebijakan UN ini tidak tepat karena destruktif dan menanamkan untuk manipulasi," kata Abduh saat diskusi Kisruh UN di DPD RI, Jakarta, Jumat (19/4/2013).

Tidak hanya sekadar itu, UN yang awalnya didesain untuk meningkatkan semangat belajar justru malah memunculkan semangat yang berkebalikan karena anak-anak menjadi berlomba untuk mencari bocoran jawaban agar UN yang dikerjakannya berjalan lancar.

"Sekarang dapat dilihat apakah semangat belajar meningkat karena UN? Tidak, karena yang ada justru sebaliknya anak-anak mencari jalan pintas untuk lulus UN," ungkap Abduh.

"Akhirnya anak yang pintar jadi hilang semangat belajar karena tahu ada jalan pintas itu," tandasnya.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti. Ia menjelaskan bahwa adanya UN ini hanya membuat anak sibuk untuk mencari kunci jawaban bukan malah mempersiapkan belajar dengan baik.

"Tentu saja, UN ini hanya membuat anak belajar untuk curang bukan malah belajar dengan benar," ungkapnya.


http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/20/1628367/UN.Malah.Membentuk.Anak.Jadi.Manipulatif

Rabu, 17 April 2013

UN Tak Cocok Jadi Alat Evaluasi Kurikulum 2013


UN Tak Cocok Jadi Alat Evaluasi Kurikulum 2013 Kompas Images/Iwan Setiyawan Ilustrasi pelajar yang sedang mengikuti Ujian Nasional.


JAKARTA, KOMPAS.com — Meski muncul banyak kritikan terhadap kurikulum baru yang akan diterapkan pada pertengahan tahun 2013 mendatang, pendekatan berbasis tematik integratif yang ditawarkan tetap diapresiasi. Namun, dengan pola pendekatan pendidikan semacam ini, bentuk evaluasi kepada siswa semestinya juga tidak lagi ketat.

Praktisi pendidikan dari Universitas Paramadina, Abduh Zein, mengatakan bahwa metode tematik integratif ini membuka peluang guru dan siswa untuk mengeksplorasi lebih dalam tentang tema bahasannya. Anak-anak juga bebas mengobservasi dan mencari tahu sendiri jawaban dari permasalahan yang dihadapi.

"Metode seperti ini tanpa batasan dan dinamis sehingga akan jadi persoalan jika ujian nasional (UN) masih dijadikan alat evaluasi," kata Zein saat Focus Group Discussion Menyoal Kurikulum 2013 di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (14/12/2012).

Ia mengungkapkan bahwa jika tetap dipaksakan mengevaluasi siswa dengan sistem UN, konsep kurikulum yang digagas saat ini hanya akan sia-sia. Pasalnya, guru tak akan bisa dengan bebas mengembangkan tema bahasan karena ada koridor yang harus diikuti agar anak-anak bisa mengerjakan UN dengan baik.

"UN itu sangat rigid. Kisi-kisinya ada dan umumnya yang keluar soalnya seperti itu sehingga guru mau tidak mau ikuti saja. Kalau begini, apa yang berubah," ujar Zein.

Untuk itu, sejalan dengan perubahan kurikulum, UN mestinya bukan lagi menjadi pilihan pemerintah untuk melakukan evaluasi pendidikan bagi para siswa di tiap jenjang. Pemerintah harus mulai mempersiapkan formulasi baru untuk alat evaluasi siswa menyesuaikan dengan metode pembelajaran pada kurikulum baru.

Ikata Pelajar Muhammadiyah : sejumlah Pelajar yang tergabung dalam Ikatan Pelajar muhammadiyah melakukan aksi damai untuk menolak secara tegas pelaksanaan Ujian Nasional yang di gelar oleh Kemendiknas. Ujian Nasional dinilai sangat merugikan Pelajar Indonesia, karena selama menempuh sekolah 3 tahun lamanya kelulusan hanya di tentukan dengan waktu dan mata pelajaran yang sangat singkat. padahal dalam Sekolah Mata Pelajaran yang ada cukup banyak. selain itu Ujian Nasional dinilai membodohkan anak Bangsa bukan malahan mencerdaskan.walaupun sekarang Kemendiknas memberlakukan jumlah nilai kelulusan 40% dan 60%, akan tetapi tetap saja para pelajar masih mengandalkan bantuan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Selasa, 16 April 2013

Pelajar Muhammadiyah Kecewa UN di 11 Provinsi diundur

Islamedia - Pelaksanaan ujian nasional (UN) 2013 di 11 provinsi terpaksa harus diundur dari jadwal yang telah ditetapkan. Kondisi ini disebabkan kesalahan teknis dari percetakan, sehingga soal tidak dapat dikirim tepat waktu di lokasi provinsi tersebut.

Adapun, 11 provinsi yang tidak dapat melaksanakan UN sesuai jadwal diantaranya, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo.

Hal tersebut menarik perhatian organisasi pelajar terbaik se-Indonesia 2011 dan OKP Terbaik Se-Asia Tenggara 2012, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Pimpinan Pusat IPM melalui Sekretarisnya menyampaikan rasa kekecewaan terhadap pemerintah Republik Indonesia khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang telah lalai dalam mengawal Ujian Nasional ini berjalan dengan baik tahun ini.

“Pelajar Indonesia merasa telah diberi harapan palsu oleh Pemerintah terkait carut marutnya sistem Ujian Nasional yang selalu membuat pelajar resah menghadapinya, ditambah lagi jadwal Ujian Nasional yang ditunda hanya karena kesalahan teknis dari percetakan” ujar Sekretaris PP IPM, Dzar Al Banna.

PP IPM menghimbau kepada Kemendikbud agar segera menyelesaikan permasalahan tersebut secepatnya, dan memberi sanksi kepada penyelenggara teknis UN secara Nasional, sanksi terhadap perusahaan percetakaan. “Karena harapan UN tepat waktu sangat ditunggu pelajar Indonesia. Jangan sampai terulang di UN untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)”, tambah Dzar.

PP IPM selama ini secara tegas sangat menolak dengan adanya UN, karena banyak hal-hal tidak di inginkan seperti melanggar HAM para pelajar, pengebaian terhadap perstasi dan usaha-usaha pelajar selama tiga tahun dan saran para sekolah dari Sabang sampai Merauke itu berbeda.

IPM Membuka posko pengaduan UN 2013 dengan mengirimkan laporan tindak kecurangan selama UN 2013 di alamat email pengaduan_un(at)ipm.or.id Pasca-Muktamar IPM ke 18 di Palembang, Sumatera Selatan, IPM selalu memberikan program-program alternatif untuk menjadi pelajar yang berkemajuan sesuai dengan visi misi IPM menjadikan pelajar yang kritis dan progresif. Setidaknya UN dapat menghambat pola pikir pelajar yang tidak peduli terhadap isu-isu yang merugikan pelajar, sehingga pelajar saat ini makin tergerus arus globalisasi dan budaya hedonisme yang berkepanjangan” tutup Dzar yang juga mahasiswa [ipm/dzar.a]

Rabu, 03 April 2013

Bila Suatu Organisasi Berjalan Tanpa “Ideologi”

Kata ideologi yang tersemat dalam judul di atas dimaksudkan untuk ideologi dalam ranah praksis, bukan konsep – teoritis. Secara konsep saya 100 % yakin bahwa setiap organisasi memiliki tulisan – tulisan hitam di atas putih yang menggambarkan ideologi dari organisasi tersebut.
Dan organisasi di sini bisa diartikan sebagai sekumpulan orang yang memiliki kesamaan ideologi, mulai dari organisasi kesiswaan, organisasi kemahasiswaan, organisasi kemasyarakatan, dan negara pun bisa masuk ke dalamnya.
Makna Ideologi
Soeranto Puspowardoyo mengatakan, ” Ideologi adalah keseluruhan pandangan, cita-cita, atau rangkaian nilai dan keyakinan yang ingin diwujudkan secara konkrit dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”
Atau pendapatnya Jindar Tamimy yang mengatakan bahwa ideologi berasal dari kata idea dan logos, yaitu ajaran atau ilmu pengetahuan yang secara sistematis dan menyeluruh membahas gagasan, cita-cita, angan-angan, atau gambaran dalam pikiran untuk mendapatkan keyakinan mengenai hidup dan kehidupan yang benar dan tepat.
Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi itu memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
1. Pandangan
2. Tujuan
3. Ajaran atau cara.
Untuk menjadi suatu ideologi, yang kemudian dibawa oleh suatu organisisasi, ketiga unsur tidak bisa berdiri sendiri. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Sekarang sudah mengertilah kita, bahwa ideologi sebenarnya tidak hanya meliputi tujuan akhir yang akan dicapai, tapi ada sesuatu yang lebih mendasar lagi dari sekedar tujuan, yaitu paradigma atau cara pandang atau pandangan hidup. Paradigma yang benar, yang bersumber dari prinsip – prinsip yang benar, akan melahirkan tujuan dan cara yang benar.
Gambaran sederhana tentang hal ini adalah, bahwa ideologi itu tidak hanya sekedar perkara kendaraan (yang sering kita analogikan sebagai organisasi itu sendiri), yang digunakan untuk mengantarkan ke kota tujuan (yang kadang kita analogikan sebagai tujuan organisasi),  tapi juga meliputi pengetahuan peta perjalanan ke kota tujuan. Peta inilah pandangan hidup tadi. Peta yang benar, akan mampu mengantarkan kita pada kota tujuan yang benar pula. Sebaliknya, perjalanan tanpa pengetahuan peta yang benar mengenai kota tujuan, meskipun dengan kendaraan bagus, sangat rawan untuk tersesat.
Para pendiri organisasi tidak akan lepas dari ideologi ini. Kesepakatan ideologi membuahkan satu organisasi. Tapi yang jadi masalah adalah generasi penerus dari organisasi ini. Organisasi apapun. Dari generasi ke generasi, suatu organisasi tidak luput dari masalah erosi ideologi. Ada proses pengikisan ideologi dalam organisasi, baik disengaja oleh oknum tertentu maupun akibat kelalaian para “penjaga gawang” organisasi.
Terkikisnya pemahaman tentang ideologi ini mengakibatkan ideologi hanya sebatas tulisan. Ideologi tidak berjalan secara praktek. Ini adalah penyakit kronis yang melanda organisasi. Gejala-gejala akut yang sering muncul adalah terjadinya kekecewaan antar personal, sikap saling sikut, hilangnya sikap saling percaya, saling mencurigai, miskin kader, dan pada akhirnya terjadi perpecahan atau muncul sempalan-sempalan. Kalau pun masih ada orang yang bertahan dalam organisasi penyakitan seperti ini, ada 2 kemungkinan yang menjadi dasar pertimbangan baginya untuk bertahan. Pertama, dia ingin menyelamatkan organisasinya. Yang seperti ini sangat sedikit jumlahnya, dan kadang tidak dikenal orang. Atau yang kedua, dia ingin bonceng organisasi tersebut untuk membawanya sampai pada tujuan pribadinya. Tujuan pribadi manusia ada banyak macamnya, seperti : kedudukan, nama baik, dikenal orang, pasangan cantik / ganteng / shaleh, bermain-main, menghabiskan waktu bersama teman dan kesenangan dunia lainnya. Biasanya – kalau tidak semuanya, orang dengan pertimbangan yang kadua ini bila apa yang dicarinya tidak dia dapatkan, tidak akan bertahan lama juga.
Bila suatu organisasi tanpa “ideologi”, yang terlihat adalah “kebancian” karakter. Tidak memiliki warna yang jelas. Tidak jelas genre-nya. Sikap ambivalen akan sering muncul. Memiliki standar ganda kebenaran. Sehingga persoalan demi persoalan, baik yang bersifat internal maupun eksternal, hanya menjadi perdebatan kusir antar personal dalam organisasi.
Bila suatu organisasi tanpa “ideologi”, semangat pun juga tidak ada, karena tidak tahu apa yang sedang dan akan diperjuangkan. Tidak memiliki arah gerakan yang jelas karena dis-orientasi. Organisasi hanya dijadikan tempat kumpul, curhat, iuran bulanan, arisan, ngerumpi, dan bermain – main. Dan masih banyak lagi dampak negatif yang sering muncul ke permukaan. Dan bila masalah mendasar ini tidak segera diselesaikan, masalah demi masalah yang bersifat internal akan senantiasa muncul. Artinya, keruntuhan organisasi sudah mengancam.
Dalam fisik manusia maupun dalam suatu organisasi tidak lepas dua masalah, yaitu masalah kronis dan masalah akut. Kronis berarti sesuatu yang mendasar, dan sering kali tidak tampak dan tidak terasa rasa “sakit”nya. Akan tetapi, masalah kronis adalah akar bagi tumbuhnya masalah-masalah akut. Akut berarti sesuatu yang muncul ke permukaan, yang sering dirasakan rasa “sakit” nya dan yang menjadi pusat perhatian untuk segera mendapatkan penanganan. Orang sering kali terjebak dan berkutat dalam permasalahan akut ini, sehingga lalai terhadap permasalahan kronis yang dideritanya. Padahal selama masalah kronis belum diselesaikan, masalah-masalah yang bersifat akut tidak akan pernah bisa selesai.
Contoh, ketika orang menderita hipertensi. Ketika kambuh, masalah yang sering muncul adalah sakit kepala. Ini adalah masalah akutnya. Orang biasanya terus lari mencari aspirin, bodrex, dsb. utk menyembuhkan sejenak sakit kepala ini. Derita ini akan terus terjadi (secara temporal) jika permasalah kronisnya tidak diselesaikan. Permasalahan kronis penyakit hipertensi adalah adanya endapan garam pada pembuluh yang mempersempit saluran pembuluh darah. Endapan garam inilah masalah kronisnya. Bila endapan ini dapat dihilangkan, sakit kepala yang biasa kambuh -secara rutin- tidak akan terjadi lagi.
Demikian juga halnya dengan permasalah di dalam organisasi. Kita sering terjebak dalam permasalah akut yang memang menyakitkan, seperti kekecewaan antar personal, sikap saling sikut, hilangnya sikap saling percaya, saling mencurigai, persaingan negatif, hilang semangat juang, tidak komitmen dan sebagainya. Saking asyiknya dengan permasalahan akut, biasanya kita lalai dan lengah untuk menelurusi permasalah mendasar yang memang tak tampak dan tak terasa sakitnya.
Henry David Thoreau pernah mengatakan, ” Daripada seribu kali memangkas ranting dan cabang pohon kejahatan, akan lebih efektif bila Anda sekali saja memenggal akarnya.”
Ideologi, itulah akar dari setiap organisasi. Dan, barangkali itulah yang menjadi biang keladi dari permasalahan-permasalahan dalam organisasi.

Din Syamsuddin: IPM Harus Bisa Mengisi Masa Depan Bangsa

Sabtu, 30-03-2013

Yogyakarta – Kehadiran Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin dalam Rapat kerja Nasional (Rakernas) Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) kemarin (29/3/2013) merupakan kegiatan penting yang harus dihadiri, “Saya minta maaf tidak bisa berlama-lama di Jogja, dan saya menyempatkan hadir di acara Rakernas IPM kali ini menurut saya penting” ujar Din.

Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) sebagai penerus, pelopor, pelangsung dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah ini yang membuat banyak Alumni AMM berebut amal usaha Muhammadiyah, maka dari itu Muhammadiyah mengubah menjadi AMM sebagai penerus, pelopor, pelangsung dan pengawal gerakan pencerahan Muhammadiyah. "Ortom AMM harus berada di jalur ini menjadi agen dari gerakan pencerahan Muhammadiyah. Mereka adalah laskar zaman," tambahnya disambut tepuk tangan peserta Rakernas.

Din Syamsuddin berharap IPM dan AMM lainnya mendukung gerakan Muhammadiyah dalam pembahasan RUU Ormas,  Migas, RUU Pendirian Rumah Sakit, Masalah Densus 88, Teroris dll. IPM sebagai anak panah gerakan Muhammadiyah sebagai garda terdepan dalam mengawal gerakan Muhammadiyah.

Rakernas IPM yang dilaksanakan di kampus 1 Universitas Ahmad Dahlan (UAD) ini  mengangkat tema Menatap Masa Depan Bangsa, membangun Budaya Pelajar Kritis dan Progresif menurut Din, IPM jangan hanya menatap masa depan, tapi harus juga mengisi masa depan bangsa dengan segala keilmuan yang dimiliki IPM dengan budaya yang kritis dan progresif.

Dalam pembahasan RUU Ormas oleh DPR RI Din menyampaikan Muhammadiyah mengkaji ada nuansa pengaturan yang ketat dari akar Ormas yang merupakan kebebasan berserikat warga. Selain itu, kewajiban asas Pancasila dinilai Din sebagai usaha mempertentangkan Pancasila dan agama. "Ormas Islam selama ini tidak ada pertentangan dengan Pancasila, masalahnya itu sudah final," ujarnya.
Menjelang tahun 2014 Din berharap IPM dan AMM lainnya bisa menjaga Muhammadiyah dari netralitas politik, Jika AMM termasuk IPM tidak bisa menjaga Muhammadiyah dan dirinya maka kepada siapa lagi kita berharap. Saya sedih kalau Muhammadiyah tidak bisa bertahan dipenghujung abad kedua," tutup Din.

Lomba Artikel Pendidikan Hardiknas 2013


Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2013, Pusat Informasi dan Humas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (PIH Kemdikbud), menyelenggarakan Lomba Penulisan Artikel, Features, dan Lomba Foto Bidang Pendidikan dan Kebudayaan.
Tema Lomba adalah “MEMBELI MASA DEPAN DENGAN HARGA SEKARANG
Subtema:
  1. Pembiayaan Pendidikan
  2. Implementasi Kurikulum 2013
  3. Sarana dan Prasarana Pendidikan
  4. Melestarikan Warisan Budaya
Kriteria Lomba:
  1. Penulisan artikel terbuka untuk umum. Penulisan karangan khas (features) untuk wartawan media cetak.
  2. Kategori lomba foto meliputi: pelajar/mahasiswa; umum/profesional; dan wartawan. Karya wartawan sudah pernah dimuat di media cetak atau online, disertakan bukti pemuatan.
  3. Artikel, Feature, dan Foto adalah karya asli, dan panitia berhak menggugurkan pemenang apabila di kemudian hari tulisan terbukti bukan karya asli.
  4. Artikel, features, dan foto belum pernah diikutsertakan dalam lomba apapun dan tidak sedang disertakan dalam lomba lainnya.
  5. Artikel dan Feature dimuat pada media massa cetak yang terbit di Indonesia pada periode 1 Januari s.d. 5 April 2013.
  6. Tulisan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
  7. Pengiriman naskah artikel dan features dilampirkan bukti pemuatan serta fotokopi identitas, melalui pos mulai 6 Maret s.d. 5 April 2013 (cap pos), dikirim ke alamat panitia lomba: Pusat Informasi dan Humas, Gedung C lt. 4, Kemdikbud, Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta Pusat.
  8. Pengiriman foto dalam bentuk file dengan ukuran 1,25 MB, resolusi 72 per inch, ke email: lombaphoto@kemdikbud.go.id, mulai 6 Maret s.d. 5 April 2013.
  9. Peserta dapat mengirimkan maksimal 5 naskah artikel, features, maupun foto.
  10. Panitia berhak menggunakan foto yang diikutsertakan dalam lomba untuk kepentingan publikasi.
  11. Pengumuman hasil lomba melalui www.kemdikbud.go.id pada Mei 2013. Pemenang akan dihubungi oleh panitia.
  12. Pemenang I, II, dan III tiap kategori berhak atas piagam penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan uang tunai masing-masing sebesar:
  13. Juara I      :      Rp 10.000.000   (dipotong pajak)
  14. Juara II     :      Rp   7.500.000   (dipotong pajak)
  15. Juara III   :      Rp   5.000.000   (dipotong pajak)
  16. Peserta bukan pegawai Kemdikbud Pusat.
  17. Keputusan juri bersifat final dan tidak bisa diganggu gugat.
Unduhan:
Brosur lomba dapat diunduh melalui web sumber posting di http://yasekolah.blogspot.com

Teori Bertingkat

Teori kebutuhan Maslow - Abraham Maslow mengembangkan teori kepribadian yang telah mempengaruhi sejumlah bidang yang berbeda, termasuk pendidikan. Ini pengaruh luas karena sebagian tingginya tingkat kepraktisan’s teori Maslow. Teori ini akurat menggambarkan realitas banyak dari pengalaman pribadi. Banyak orang menemukan bahwa mereka bisa memahami apa kata Maslow. Mereka dapat mengenali beberapa fitur dari pengalaman mereka atau perilaku yang benar dan dapat diidentifikasi tetapi mereka tidak pernah dimasukkan ke dalam kata-kata.

Maslow telah membuat teori hierarkhi kebutuhan. Semua kebutuhan dasar itu adalah instinctoid, setara dengan naluri pada hewan. Manusia mulai dengan disposisi yang sangat lemah yang kemudian kuno sepenuhnya sebagai orang tumbuh. Bila lingkungan yang benar, orang akan tumbuh lurus dan indah, aktualisasi potensi yang mereka telah mewarisi. Jika lingkungan tidak “benar” (dan kebanyakan tidak ada) mereka tidak akan tumbuh tinggi dan lurus dan indah. Berikut ini lima tingkat kebutuhan menurut teori Maslow.



Kebutuhan Fisiologis
Teori kebutuhan Maslow yang pertama adalah kebutuhan biologis. Mereka terdiri dari kebutuhan oksigen, makanan, air, dan suhu tubuh relatif konstan. Mereka adalah kebutuhan kuat karena jika seseorang tidak diberi semua kebutuhan, fisiologis yang akan datang pertama dalam pencarian seseorang untuk kepuasan.

Kebutuhan Keamanan 
Teori kebutuhan Maslow yang berikutnya adalah ketika semua kebutuhan fisiologis puas dan tidak mengendalikan pikiran lagi dan perilaku, kebutuhan keamanan dapat menjadi aktif. Orang dewasa memiliki sedikit kesadaran keamanan mereka kebutuhan kecuali pada saat darurat atau periode disorganisasi dalam struktur sosial (seperti kerusuhan luas). Anak-anak sering menampilkan tanda-tanda rasa tidak aman dan perlu aman.

Kebutuhan Cinta, sayang dan kepemilikan
Teori kebutuhan Maslow selanjutnya adalah kebutuhan sosial. Ketika kebutuhan untuk keselamatan dan kesejahteraan fisiologis puas, kelas berikutnya kebutuhan untuk cinta, sayang dan kepemilikan dapat muncul. Maslow menyatakan bahwa orang mencari untuk mengatasi perasaan kesepian dan keterasingan. Ini melibatkan kedua dan menerima cinta, kasih sayang dan memberikan rasa memiliki.

Kebutuhan Esteem
Ketika tiga kelas pertama kebutuhan dipenuhi, kebutuhan untuk harga bisa menjadi dominan. Ini melibatkan kebutuhan baik harga diri dan untuk seseorang mendapat penghargaan dari orang lain. Manusia memiliki kebutuhan untuk tegas, berdasarkan, tingkat tinggi stabil diri, dan rasa hormat dari orang lain. Ketika kebutuhan ini terpenuhi, orang merasa percaya diri dan berharga sebagai orang di dunia. Ketika kebutuhan frustrasi, orang merasa rendah, lemah, tak berdaya dan tidak berharga.

Kebutuhan Aktualisasi Diri
Tingkat kebutuhan terakhir adalah ketika semua kebutuhan di atas terpenuhi, maka dan hanya maka adalah kebutuhan untuk aktualisasi diri diaktifkan. Maslow menggambarkan aktualisasi diri sebagai orang perlu untuk menjadi dan melakukan apa yang orang itu “lahir untuk dilakukan.” “Seorang musisi harus bermusik, seniman harus melukis, dan penyair harus menulis.” Kebutuhan ini membuat diri mereka merasa dalam tanda-tanda kegelisahan. Orang itu merasa di tepi, tegang, kurang sesuatu, singkatnya, gelisah. Jika seseorang lapar, tidak aman, tidak dicintai atau diterima, atau kurang harga diri, sangat mudah untuk mengetahui apa orang itu gelisah tentang. Hal ini tidak selalu jelas apa yang seseorang ingin ketika ada kebutuhan untuk aktualisasi diri. (Source : belajarpsikologi.com)

Sekilas mengenai profile Abraham Maslow
Abraham Maslow lahir 1 April 1908 di Brooklyn, New York, Amerika Serikat. Ia awalnya kuliah di bidang hukum, sebelum akhirnya memilih untuk mempelajari psikologi dan lulus dari Universitas Winconsin. Ia memperoleh gelar PhD pada 1934. Maslow menjadi pelopor aliranpsikologi humanistik yang pada tahun 1950 hingga 1960-an. Ia dikenal sebagai “kekuatan ke-tiga” di samping teori Freud dan behaviorisme. Maslow menjadi profesor di Universitas Brandeis dari 1951 hingga 1969, dan menjadi residentfellow untuk Laughlin Institute of California. Ia meninggal karena serangan jantung pada 8 Juni 1970.


Nah, itulah sekilas kutipan mengenai teori kebutuhan Maslow mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca, masih banyak sekali teori kebutuhan menurut ahli lain.

Transformasi Sekolah : Upaya Membentuk Karakter Pelajar


Print E-mail

Henry A. Giroux seorang pakar pendidikan kritis pernah mempersoalkan bahaya neoliberalisme di dalam masyarakat moderen dewasa ini. Neoliberalisme menurutnya merupakan suatu ideologi yang sangat berbahaya, sebab pada dasarnya, neoliberalisme menghancurkan segala hal yang merupakan milik publik, merusak nilai-nilai demokratis karena tunduk kepada fundamentalisme pasar. Nilai-nilai sosial yang luhur telah direduksi sebagai nilai-nilai yang tunduk kepada pertimbangan-pertimbangan komersial dan privatisasi.


Apabila pandangan neoliberalisme menyusup ke dalam dunia pendidikan kita, maka yang pasti akan terjadi orang-orang akan mengasumsikan dunia pendidikan “sama” dengan dunia industri. Pendidikan dilihat sebagai komoditi dan tunduk kepada hukum pasar (supply and demand). Akibatnya bermunculan sekolah-sekolah yang menjadi ladang bisnis, masing-masing saling bersaing untuk mendapatkan siswa yang bisa membiayai besar kelangsungan proses belajar mengajar di sekolah.

Tak usah jauh-jauh membincangkannya sampai di sekolah, lihat saja pendidikan yang diselenggarakan di jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) atau taman kanak-kanak (TK). Biaya sekolah PAUD/ TK bahkan hampir sama dengan kuliah di PT. Lihat, berapa banyak PAUD/ TK yang bermunculan dengan biaya tinggi. Artinya, semakin tinggi biaya pendidikannya, PAUD/ TK tersebut dianggap semakin bergengsi. Apalagi, orang tua yang berduit, merasa naik gengsinya karena anaknya sekolah di sekolah mahal.
Belum lagi membincangkan tentang monopoli buku pelajaran sekolah (dengan adanya kerjasama dengan penerbit buku pelajaran dan pihak sekolah), yang mengharuskan siswa-siswa di sekolah untuk membeli buku-buku pelajaran, LKS baru, meskipun koleksi di perpustakaan sudah ada dengan isi dan muatan yang cenderung sama. Munculnya monopoli buku pelajaran ini, tentu saja karena semangat sekolah mencetak anak didik yang mumpuni. Hanya seringkali ambisi sekolah mengorbankan orang tua wali murid: terutama akan menyusahkan orang tua murid dari kalangan keluarga miskin.
Sekolah seringkali dianggap tidak punya tanggung jawab karena buku-buku pelajaran yang sudah dipakai tahun lalu tidak bisa dipakai lagi untuk tahun depan karena  sudah berganti penerbit. Bahkan, ini sengaja dilakukan agar orang tua siswa membeli buku-buku pelajaran, termasuk “memaksa” membeli di sekolah. Pihak penerbit senang-senang saja, yang penting bukunya laku keras. Bahkan, mereka sangat agresif menembus sekolah-sekolah dengan “iming-iming” tertentu. Sementara itu, pemerintah juga seolah membiarkan hal demikian terjadi. Alasannya, “era otonomi”. Sehingga, sekolah dibiarkan mempunyai kebijakannya tersendiri, termasuk pengadaan buku sekolah yang berganti setiap tahun.
Neoliberalisme pendidikan tidak hanya berdampak pada mahalnya biaya bersekolah dan monopoli buku pelajaran itu, tapi juga tujuan pendidikan. Dalam nalar neoliberal, siswa yang masuk dalam sekolah dididik dengan doktrin-doktrin modernisme-neoliberal, mereka diarahkan pandangan hidupnya pada pencapaian kesuksesan hidup ala kaum neolib, diarahkan pembangunan sosial-budaya ala borjuis-kapitalis, dan ikut dalam pandangan dan gaya hidup kaum borjuis-kapitalis. Para siswa diberikan kompetensi yang sekiranya dibutuhkan oleh dunia industri, dalam hal ini pendidikan tunduk pada kemauan pasar, pendidikan hanya ditujukan sebagai lembaga pensuplai tenaga kerja untuk dunia industri. Pendidikan dengan demikian tidak lagi sebagaimana ideal konsep pendidikan sebagai lembaga pencerahan dan pembangun peradaban, menciptakan peradaban manusia, tapi sekadar mengikuti jalan peradaban yang dibangun oleh para kaum kapitalis-borjuis di atas puing-puing humanisme, bersenjatakan legitimasi ilmu pengetahuan yang mereka kendalikan.
Pendidikan moral dikesampingkan. Yang penting anak cerdas (secara kognitif) di banyak mata pelajaran, soal baik atau tidaknya perilaku anak didik itu (cerdas secara afektif) tidak dipersoalkan. Karena tujuan pendidikan semata-mata untuk memenuhi kecerdasan kognitif – dengan berbagai cara dilakukan – dari mulai bagaimana menyusun muatan kurikulum yang lengkap, pelajaran tambahan, pekerjaan rumah yang menumpuk, dan tuntutan lainnya. Ini juga tidak semata-mata salah sekolah. Pendidikan jenjang yang lebih tinggi seringkali menuntut anak didik bisa ini dan itu. Mengapa sekolah setingkat SD harus memposisikan anak didik seperti mesin, karena sekolah tingkat SMP dan selanjutnya SMA menghendaki seperti itu.
Akibat dari berkembangnya nalar neoliberalisme ini menyebabkan sekolah-sekolah – sebagaimana pendapat HAR Tilaar dalam bukunya Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (2004), mementingkan apa yang berguna berdasarkan paham pragmatisme – artinya menyediakan pelajaran-pelajaran yang berguna untuk kehidupan yang sekarang. Dengan demikian sekolah bukanlah mengasah kemampuan intelektual untuk hidup secara cerdas tetapi yang dapat memberikan keuntungan yang lebih banyak bagi yang menguasainya. Karena paham ini, academic excellence bukan lagi merupakan tujuan dalam pendidikan, siswa cerdas yang bermoral juga tak lagi penting, sekolah bukan lagi untuk mengasah akal budi dan seni, karena yang terpenting menurut paham ini adalah bagaimana siswa mendapatkan keterampilan atau penguasaan-penguasaan ilmu-ilmu praktis yang segera dapat memberikan manfaat pada yang memilikinya.
Ambisi orang tua juga terlalu besar. Orang tua sering tidak melihat kemampuan anak. Inginnya diterima di sekolah favorit untuk menaikkan gengsi. Padahal anak didik tak punya kemampuan seperti itu. Akibatnya, “uang” solusinya. Dampaknya, anak tersebut susah mengikuti pelajaran seperti anak-anak lainnya. Kasus “anak titipan” terjadi karena orang tua menganggap bahwa sekolah itu “bisa dibeli”. Tak lain, karena neoliberalisme pendidikan sudah sedemikian membelit pendidikan kita, bukan hanya masalah buku pelajaran saja, tetapi kasus “anak titipan”.
Neoliberalisme pendidikan tentu saja ancaman dan harus diakhiri. Sekolah-sekolah yang jadi “ladang bisnis” dan melupakan fithrahnya sebagai tempat “pendidikan” bagi para siswa, tentu bukan suatu hal yang positif. Karena sebagaimana kita mafhumi, sekolah bukan sekadar tempat berlangsungnya aktivitas belajar mengajar, tapi juga tempat berlangsungnya pendidikan. Kita semua punya tanggung jawab yang sama untuk mengakhiri cengkeraman neoliberalisme pendidikan ini, supaya ke depan kualitas pendidikan kita lebih baik lagi (tidak hanya dalam artian “baik” dalam mentransformasikan pengetahuan pada anak didik tapi juga bisa mentransformasikan nilai-nilai moral dan perilaku yang baik).
Bagaimana Peran Strategis Ikatan Pelajar Muhammadiyah?
Peran dasar sekolah adalah sebagai basis pencetak kaum terdidik dengan setrata tinggi di dalam masyarakat. Maka organisasi kepelajaran di Indonesia termasuk IPM, mempunyai peran strategis dalam rangka mengorganisasikan kaum terdidik dalam satu wadah untuk memperkuat tanggung jawab sosial pelajar terhadap masyarakat atau bangsanya. Tanggung jawab sosial tersebut hadir seiring dengan penguatan pembangunan karakter ditubuh organisasi kepelajaran serta pendalaman akan realitas bangsanya bersamaan dengan tumbuhnya nalar intelektual pelajar.
Oleh sebab itu esensi dari sekolah adalah upaya penciptaan ruang-ruang dialektika gagasan dan penemuan ide pelajar sebagai basis penguatan masyarakat. Dimana tempat pendidikan menciptakan iklim kondusif dan terbuka bagi tumbuh kembangnya ide dan gagasan. Disertai dengan kesimbangan moral dan religious untuk menumbuhkan tanggung jawab ilmiah kedalam masyarakat dengan dasar ketaqwaan kepada sang pencipta.
Namun demikian, kondisi lembaga pendidikan dari tingkat dasar hingga atas saat ini membuat tempat pendidikan tak lebih dari mesin industri pencetak ijazah. Menciptakan ahli teknologi yang terampil tetapi murah dan bersedia tunduk terhadap rezim tiran dan kepentingan asing. Sebagai sebuah produsen bagi tenaga kerja industri dan birokrasi maka kaum borjuis memiliki kepentingan yang cukup signifikan dalam menentukan kabijakan tempat pendidikan. Kondisi ini yang menyebabkan tempat pendidikan, kian masuk pada struktur industri pendidikan yang jauh dari kepentingan masyarakat. Lebih parah sekolah saat ini kian mahal biayanya dan tidak menjangkau lapisan masyarakat bawah.
Hal ini ternyata berdampak secara sosiologis terhadap pelajar yang terkategorikan pada empat kelompok:
Pertama kelompok phragmatis (orientasi stuidi semata), kelompok ini secara kuantitas jumlahnya sangat besar, mereka berasal dari kaum menengah atas yang bertujuan bahwa study dan kuliah adalah batu pijakan untuk kemudiian mencari kerja dan melanjutkan ke jenjang selanjutnya semata. Kedua  kelompok hedonis (mementingkan gaya hidup) kelompok ini memang jumlahnya tidak sebesar seperti kelompok pertama , namun memiliki kecenderungan untuk bertambah besar , dilain sisi kelompok kedua ini sedikit punya titik temu dengan kelompok pertama. Kelompok kedua ini didominasi oleh pelajar yang berasal dari ekonomi elit yang memang mereka tidak banyak punya kepentingan tentang masa depannya, karena bagi sebagia besar mereka orang tua sudah cukup menjamin, disisi lai kebanyakan dari mereka yang sekolah atau kuliah karena terpaksa. Sehingga ekspresi bagi pelajar dari kelompok ini adalah dari pencitraan diri , life style dan hura-hura.
Ketiga kelompok pelajar frustasi, kelompok ini biasanya berasal dari kombinasi golongan pelajar dari ekonomi lemah dan pelajar kelas menengah yang menemukan jati dirinya saat menjadi pelajar. Munculnya kelompok ini disebabkan oleh kegamangan mencari identitas, dan pukulan ekonomi yang terus menerus mengancam eksistensi mereka. Misalnya mereka yang baru mendapatkan identitasnya berupa paham keagamaan baru, ia ekspresikan dengan mengartikulasikan secara membabi buta, sehingga dalam kondisi ini mereka tertutup dengan pandangan pemahaman lain. Di samping itu mereka yang putus asa dengan kondisi ekonomi, memutuskan untuk bergabung pada aliran-aliran yang jamak mengasingkan dirinya dari pelajar lainnya.
Keempat  kelompok pelajar aktifis-kritis, yang berasal dari golongan ekonomi menengah atau ekonomi bawah yang tercerahkan. Jumlah mereka sangat sedikit, kebanyakan dari mereka bergabung dengan organisasi-organisasi kepelajaran. Bagi mereka sekolah dan kuliah adalah pemaknaan diri, untuk apa dan untuk siapa keilmuan mereka darmabaktikan. Sehingga bagi mereka penemuan kesadaran itulah jalan untuk melakukan perubahan.
Dalam rangka mengupayakan keseimbangan tempat pendidikan sebagai model penguatan karakter kepelajaran kedalam masayarakat maka diperlukan sebuah upaya serius dan terintegratif. Dan yang perlu dilakukan IPM saat ini diantaranya; 1. Menghidupkan kembali mimbar bebas di setiap tempat, baik tingkat pusat, wilayah maupun daerah; 2. Menggalakkan forum-forum diskusi tentang berbagai permasalahan dan isu-isu yang berkembang di masyarakat. Forum diskusi ini bisa melakukan kajian berdasarkan pandangan disiplin ilmu tertentu, ataupun interdisipliner yang pesertanya berasal dari daerah, ranting maupun lintas OKP; 3. Mengintensifkan seminar-seminar tentang gerakan moral pelajar; 4. Menghidupkan pers pelajar sebagai sarana komunikasi, aktualisasi dan artikulasi gagasan-gagasan brilian serta ide-ide cerdas pelajar untuk mencari solusi atas berbagai  permasalahan; 5. Optimalisasi kegiatan-kegiatan pengkaderan IPM yang diarahkan untuk mencetak kader dan calon pemimpin bangsa yang cerdas, terampil, moralis, religius, kredibel, peduli terhadap permasalahan yang terjadi di sekitar serta memiliki integritas diri yang diakui. 6. Memperbanyak penelitian-penelitian ilmiah yang berkaitan dengan problem-problem nyata di masyarakat pelajar.

Hukum Perayaan Valentine Menurut Islam


Print E-mail
 

1. Asalnya adalah aqidah paganis (penyembahan berhala) kaum Romawi, untuk mengungkapkan rasa cinta kepada berhala yang mereka ibadahi selain Allah Subahanahu wa Ta’ala. Barangsiapa yang merayakannya, berarti dia merayakan momen pengagungan dan penyembahan berhala. Padahal Allah Subahanahu wa Ta’ala telah mengingatkan kita dari perbuatan syirik:
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur’.” (Az-Zumar: 65-66)
Allah Subahanahu wa Ta’ala juga menyatakan melalui lisan ‘Isa ‘alaihissalam:
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun.” (Al-Ma’idah: 72)
Dan seorang muslim wajib berhati-hati dari syirik dan segala yang akan mengantarkan kepada syirik.
2. Awal mula perayaan ini di kalangan bangsa Romawi paganis terkait dengan kisah dan khurafat yang tidak bisa diterima akal sehat, apalagi akal seorang muslim yang beriman kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala dan para rasul-Nya.
Pada satu versi, disebutkan bahwa seekor serigala betina menyusui Romulus pendiri kota Roma, sehingga memberinya kekuatan fisik dan kecerdasan pikiran. Ini menyelisihi aqidah seorang muslim, bahwa yang memberikan kekuatan fisik dan kecerdasan pikiran hanyalah Allah Subahanahu wa Ta’ala, Dzat Maha Pencipta, bukan air susu serigala. Dalam versi lain, pada perayaan itu kaum Romawi paganis mempersembahkan qurban untuk berhala sesembahan mereka, dengan keyakinan bahwa berhala-berhala itu mampu mencegah terjadinya keburukan dari mereka dan mampu melindungi binatang gembalaan mereka dari serigala. Padahal, akal yang sehat mengetahui bahwa berhala tidaklah dapat menimpakan kemudaratan, tidak pula bisa memberikan suatu kemanfaatan.
Bagaimana mungkin seorang berakal mau ikut merayakan perayaan seperti ini? Terlebih lagi seorang muslim yang Allah Subahanahu wa Ta’ala telah menganugerahkan agama yang sempurna dan aqidah yang lurus ini kepadanya.
3. Di antara syi’ar jelek perayaan ini adalah menyembelih anjing dan domba betina, lalu darahnya dilumurkan kepada dua orang pemuda, kemudian darah itu dicuci dengan susu, dst. Orang yang berfitrah lurus tentu akan menjauh dari hal yang seperti ini. Akal yang sehat pun tidak bisa menerimanya.
4. Keterkaitan St. Valentine dengan perayaan ini diperselisihkan, juga dalam hal sebab dan kisahnya. Bahkan, sebagian literatur meragukannya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak pernah terjadi. Sehingga pantas bagi kaum Nasrani untuk tidak mengakui perayaan paganis ini yang mereka tiru dari bangsa Romawi paganis. Terlebih lagi keterkaitan perayaan ini dengan salah satu santo (orang-orang suci dalam khazanah Nasrani, ed.) mereka, masih diragukan. Bila merayakannya teranggap sebagai aib bagi kaum Nasrani, yang telah mengganti-ganti agama mereka dan mengubah kitab mereka, tentu lebih tercela bila seorang muslim yang ikut merayakannya. Dan bila benar bahwa perayaan ini terkait dengan terbunuhnya St. Valentine karena mempertahankan agama Nasrani, maka apa hubungan kaum muslimin dengan St. Valentine?
5. Para pemuka Nasrani telah menentang perayaan ini karena timbulnya kerusakan akhlak pemuda dan pemudi akibat perayaan ini, maka dilaranglah perayaan ini di Italia, pusat Katholik. Lalu perayaan ini muncul kembali dan tersebar di Eropa. Dari sanalah menular ke negeri kaum muslimin. Bila pemuka Nasrani –pada masa mereka– mengingkari perayaan ini, maka wajib bagi para ulama kaum muslimin untuk menerangkan hakikatnya dan hukum merayakannya. Sebagaimana wajib bagi kaum muslimin yang awam untuk mengingkari dan tidak menerimanya, sekaligus mengingkari orang yang ikut merayakannya atau menularkannya kepada kaum muslimin.
Beberapa Sisi Hukum Valentine
Tasyabbuh dengan Orang-orang Kafir
Hari raya –seperti, Valentine Days- merupakan ciri khas, dan manhaj (metode) orang-orang kafir yang harus dijauhi. Seorang muslim tidak boleh menyerupai mereka dalam merayakan hari itu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata, "Tak ada bedanya antara mengikuti mereka dalam hari raya, dan mengikuti mereka dalam seluruh manhaj (metode beragama), karena mencocoki mereka dalam seluruh hari raya berarti mencocoki mereka dalam kekufuran. Mencocoki mereka dalam sebagaian hari raya berarti mencocoki mereka dalam sebagian cabang-cabang kekufuran. Bahkan hari raya adalah ciri khas yang paling khusus di antara syari’at-syari’at (agama-agama), dan syi’ar yang paling nampak baginya. Maka mencocoki mereka dalam hari raya berarti mencocoki mereka dalam syari’at kekufuran yang paling khusus, dan syi’ar yang paling nampak. Tak ragu lagi bahwa mencocoki mereka dalam hal ini terkadang berakhir kepada kekufuran secara global".[Lihat Al-Iqtidho' (hal.186)].
Ikut merayakan Valentine Days termasuk bentuk tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang kafir. Rasululllah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
"Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut".
[HR. Abu Daud dalam Sunan-nya (4031) dan Ahmad dalam Al-Musnad (5114, 5115, & 5667), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (19401 & 33016), Al-Baihaqiy dalam Syu'ab Al-Iman (1199), Ath-Thobroniy dalam Musnad Asy-Syamiyyin (216), Al-Qudho'iy dalam Musnad Asy-Syihab (390), dan Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhob (848). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Musykilah Al-Faqr (24)].
Seorang Ulama Mesir,Syaikh Ali Mahfuzh-rahimahullah- berkata dalam mengunkapkan kesedihan dan pengingkarannya terhadap keadaan kaum muslimin di zamannya, "Diantara perkara yang menimpa kaum muslimin (baik orang awam, maupun orang khusus) adalah menyertai (menyamai) Ahlul Kitab dari kalangan orang-orang Yahudi, dan Nashrani dalam kebanyakan perayaan-perayaan mereka, seperti halnya menganggap baik kebanyakan dari kebiasaan-kebiasaan mereka. Sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dahulu membenci untuk menyanai Ahlul Kitab dalam segala urusan mereka…Perhatikan sikap Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- seperti ini dibandingkan sesuatu yang terjadi pada manusia di hari ini berupa adanya perhatian mereka terhadap perayaan-perayaan, dan adat kebiasaan orang kafir. Kalian akan melihat mereka rela meninggalkan pekerjaan mereka berupa industri, niaga, dan sibuk dengan ilmu di musim-musim perayaan itu, dan menjadikannya hari bahagia, dan hari libur; mereka bermurah hati kepada keluarganya, memakai pakaian yang terindah, dan menyemir rambut anaka-anak mereka di hari itu dengan warna putih sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi, dan Nashrani. Perbuatan ini dan yang semisalnya merupakan bukti kebenaran sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sebuah hadits shohih, "Kalian akan benar-benar mengikuti jalan hidup orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga andai mereka memasuki lubang biawak, maka kalian pun mengikuti mereka". Kami (para sahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah mereka adalah orang-orang Yahudi, dan Nashrani". Beliau menjawab, "Siapa lagi kalau bukan mereka". [HR. Al-Bukhoriy (3456) dari Abu Sa'id Al-Khudriy -radhiyallahu 'anhu-]".[Lihat Al-Ibda' fi Madhorril Ibtida' (hal. 254-255)]

Pengantar Menuju Maksiat dan Zina
Acara Valentine Days mengantarkan seseorang kepada bentuk maksiat dan yang paling besarnya adalah bentuk perzinaan. Bukankah momen seperti ini (ValentineDays) digunakan untuk meluapkan perasaan cinta kepada sang kekasih, baik dengan cara memberikan hadiah, menghabiskan waktu hanya berdua saja? Bahkan terkadang sampai kepada jenjang perzinaan.
Allah -Subhanahu wa Ta’la- berfirman dalam melarang zina dan pengantarnya (seperti, pacaran, berduaan, berpegangan, berpandangan, dan lainnya),
"Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk". (QS. Al-Isra’ : 32)
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
"Jangan sekali-sekali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram". [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (4935), dan Muslim dalam Shohih-nya (1241)] .
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
"Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya". [HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (486). Di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah (226)]

Menciptakan Hari Raya
Merayakan Velentine Days berarti menjadikan hari itu sebagai hari raya. Padahal seseorang dalam menetapkan suatu hari sebagai hari raya, ia membutuhkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena menetapkan hari raya yang tidak ada dalilnya merupakan perkara baru yang tercela. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

“Siapa saja yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami sesuatu yang tidak ada di dalamnya, maka itu tertolak” [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih -nya (2697)dan Muslim dalam Shahih -nya (1718)]

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan tersebut tertolak”. [HR. Muslim dalam Shahih -nya (1718)]

Allah -Ta’ala- telah menyempurnakan agama Islam. Segala perkara telah diatur, dan disyari’atkan oleh Allah. Jadi, tak sesuatu yang yang baik, kecuali telah dijelaskan oleh Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Demikian pula, tak ada sesuatu yang buruk, kecuali telah diterangkan dalam Islam. Inilah kesempurnaan Islam yang dinyatakan dalam firman-Nya,
"Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu". (QS.Al-Maidah :3 ).
Di dalam agama kita yang sempurna ini, hanya tercatat dua hari raya, yaitu: Idul Fitri dan Idul Adha. Karenanya, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengingkari dua hari raya yang pernah dilakukan oleh orang-orang Madinah. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepada para sahabat Anshor,

“Saya datang kepada kalian, sedang kalian memiliki dua hari, kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyyah. Allah sungguh telah menggantikannya dengan hari yang lebih baik darinya, yaitu: hari Nahr (baca: iedul Adh-ha), dan hari fithr (baca: iedul fatri)”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (1134), An-Nasa`iy dalam Sunan-nya (3/179), Ahmad dalam Al-Musnad (3/103. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (1134)] .
Syaikh Amer bin Abdul Mun’im Salim-hafizhahullah- berkata saat mengomentari hadits ini, "Jadi, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang mereka -dalam bentuk pengharaman- dari perayaan-perayaan jahiliyyah yang dikenal di sisi mereka sebelum datangnya Islam, dan beliau menetapkan bagi mereka dua hari raya yang syar’i, yaitu hari raya Idul Fithri, dan hari raya Idul Adh-ha. Beliau juga menjelaskan kepada mereka keutamaan dua hari raya ini dibandingkan peryaan-perayaan lain yang terdahulu ".[Lihat As-Sunan wa Al-Mubtada'at fi Al-Ibadat (hal.136), cet. Maktabah Ibad Ar-Rahman, 1425 H]

Mengantarkan Kepada Tersibukkannya Hati
Dalam urusan-urusan rendah seperti ini, yang menyelisihi bimbingan salafus shalih. Maka tidak dihalalkan pada hari ini muncul sesuatu yang itu merupakan bentuk syi’ar terhadap perayaan tersebut, apakah dalam hal makanan, minuman, pakaian, atau saling memberi hadiah, atau yang lainnya.
Wajib bagi seorang muslim merasa mulia dengan agamanya dan jangan dia menjadi seorang yang tidak punya pegangan, mengikuti setiap ada orang yang berteriak (mengajak kepada sesuatu). Aku memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar memberi perlindungan kepada Kaum Muslimin dari segala fitnah yang zhahir maupun yang batin dan semoga Dia senantiasa menolong kita dengan pertolongan dan taufiqNya. [ dari Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah :16/199 ]


Semoga dengan mengetahui
Hukum Perayaan Valentine Menurut Islam
seorang muslim mencukupkan diri dengan agamanya

Memasang Keylogger di Mozilla Firefox



Memasang Keylogger di Mozilla Firefox

Gak Perlu dijelasin deh -__- , yang baca paling udah tau maksud, cara, dan resiko menggunakannya. Yups, cara memasang logger di Mozilla. Gak perlu ngoprek jeroan mozilla, cukup adengan plugin saja. 


Install Plugins Keylogger
https://addons.mozilla.org/id/firefox/addon/keylogger-220858/

Cara pakai :
Setelah di install di Firefox, tekan ALT + L , lalu akan diminta memasukan sebuah password, itu bertujuan untuk membuka file log-nya, masukin password yang mudah di ingat misalnya cukup angka 1 saja.

INGAT, Jangan sampai lupa passwordnya, 
Karena meski sudah di uninstall pun, passwordnya tetap tidak bisa tereset. Udah ngertikan :D

Selasa, 02 April 2013

Perjalanan Musyawarah Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Prov. Jambi

Tertanggal 29 Maret 2013 pembukaan Musyawaroh Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Prov. Jambi sedang berlangsung, di hadiri 6 Pimpinan Daerah dan 4 Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Muhammadiyah se-Prov. Jambi. Ibunda 'Aisyiyah, Ayahanda Muhammadiyah  serta tamu undangan turut hadir dalam Pembukaan. " Pelajar Muhammadiyah harus Kritis dalam menghadapi problematika-problematika yang selama ini terjadi dalam dunia pelajar serta kreatif dalam mensikapi problematika yang selama ini menjadi penyakit pelajar. Tumbuhkan karakteristik pelajar sebagai generasi penerus bangsa" pesan Ayahanda Pimpinan Wilayah Muhammadiyah saat membuka acara secara resmi.
Musywil IPM Prov. Jambi merupakan hajatan akbar IPM dalam tingkat wilayah, yang didalamnya terdapat rumusan-rumsan pergerakan IPM kedepan. tak terasa waktu berlalu perdebatan-berdebatan sengit yang terjadi telah membuahkan hasil yang positif terhadap peserta yang mulai bergabung dengan IPM.sampai-sampai peserta ada yang merasa ketakutan melihat perdebatan yang terjadi dalam arena Musywil.
seru, asyik, dlam arena Muswil.
kekritisan kader IPM dri setiap Daerah telah membuat para pasukan elite IPM di level Wilayah mengakui bahwa kader IPM tidak bisa di permainkan.